By. Nurish Hardefty
Di tahun 2017 aku berdiri tegar,
Menjalani hari layaknya robot tanpa jiwa,
Tak kenal lelah hingga tubuhku berontak,
Kelenjarku membengkak, hingga operasi datang sebagai pilihan dan jawaban.
Tahun demi tahun kujalani,
Diiringi badai tanpa henti,
Tubuhku lemah, jiwaku terpaku,
Menahan beban dunia yang terus memaku.
2018 dan 2019, pisau bedah jadi teman,
Di antara tumor dan luka,
Sendirian kuhadapi,
Menggenggam tangis di sela-sela sunyi.
Ketika 2020 menyapa dalam isolasi sepi,
Covid datang merenggut kebersamaan ,
Ibu dan aku terpuruk dalam tubuh yang lemas batuk dan pilek,
Hingga kekasih Hungaria ku pergi tak kembali.
Aku tenggelam dalam lautan duka,
Setiap inci tubuhku berdarah,
Namun badai tak henti,
2021 datang membawa luka lain,
Tumor payudara dan usus menyerang ku tanpa belas kasihan,
Operasi dua bulan berturut-turut menjadi pilihan,
Sakit berkali-kali setelah vaksin moderna masuk mengebalkan daya imunitas,
Kebahagiaan semua direnggut dariku,
Disaat tubuh berjuang melawan rasa sakit,
Hati dan pikiran pun berjuang melawan lukanya,
Kekasih Norwegia ku yang juga sahabat ku memutuskan aku saat itu.
Badai masih berlanjut di tahun 2022,
Ibuku jatuh dan patah tulang tangan,
Hingga stroke menghampiri,
Aku lelah, tubuhku rapuh,
Namun tetap bertahan, merawat beliau dalam hening yang sepi.
Bertahun-tahun aku menahan badai,
Tapi kini akhir 2024 jiwaku mulai meredup,
Aku ingin menyerah,
Biarlah dunia berjalan tanpaku sejenak,
Aku hanya ingin istirahat, dalam damai tanpa depresi menyiksa.
Comments