By Nurish Hardefty
Wahai Tanah Airku—
yang dulu dipuja-puja dalam kidung,
kini kau digadai dalam sunyi…
oleh tangan-tangan penguasa yang hilang nurani!
Raja kita...
bukan lagi singa yang mengaum di tengah badai,
melainkan bayang-bayang pucat
yang hanya bisa berucap—
"Tunggu arahan saya!"
Dan Wapres kita...
bukan dipilih oleh nurani hukum,
melainkan disematkan oleh
konspirasi diam-diam di ruang gelap konstitusi!
Di ujung Timur—
Raja Ampat kini bersimbah luka!
Di Sulawesi dan Kalimantan,
hutan ditebas,
tanah dikeruk,
lautan dibentang pagar demi tambang,
DEMI TAMBAHAN KANTONG
SI PENJUAL BANGSA!
Tanah ini,
yang harusnya jadi pusaka,
telah menjadi dagangan murah untuk investor China!
laut Tangerang dijual.
Rempang diancam.
Komodo ditukar izin.
Lalu, mereka berkata…
“Investasi demi kemajuan bangsa!”
Sementara itu…
ibu-ibu menangis di pasar,
karena harga beras tak bisa dibeli oleh air mata.
Buruh dirumahkan,
anak-anak berhenti sekolah,
dan kami...
kami disuruh diam, tunduk, taat…
pada aturan yang lahir dari rahim oligarki sesat!
Pajak kami disedot rakus,
sertifikat kami kini maya—
Satu klik,
dan hilanglah sejarah tapak nenek moyang!
Wahai para pemilik kuasa!
Dengarkan jerit bumi yang kalian telanjangi!
Dengarkan tangis laut yang kalian batasi!
Kami, rakyat ini—
bukan tumbal dalam catur kekuasaan kalian!
Karena dalam dada kami...
masih menyala bara!
Bara yang takkan padam!
Bara yang akan jadi nyala!
Nyala yang akan membakar kedurjanaan!
Kami bukan rakyat dungu!
Kami bukan pion bisu!
Kami adalah anak bangsa—
yang akan menulis ulang takdir negeri ini…
dengan tangan, air mata, dan bila perlu... darah kami sendiri!
---
Comments