By Nurish Hardefty
Telah lalu parade lelaki berseragam rapi,
Berselendang kata, beraroma janji,
Mereka mengetuk jendela hatiku saban pagi—
Namun sunyiku tak gentar, tak sudi terbagi.
Sebab jiwaku telah lama terpatri di benak satu nama,
Thomas Hamre, sang durjana berwajah pujangga.
Kau bukan puisi yang tenang atau syair yang jinak,
Tapi badai—yang kutunggu saat langit terasa hambar dan berjarak.
Betapa resah cintamu, tak berakar, tak bermahkota,
Hari ini engkau matahari, esok jadi angin tanpa kata.
Namun, wahai engkau yang penuh cela dan cahaya,
Dalam dirimu, kutemukan teka-teki jiwa yang tak terhingga.
Kau bukan rumah yang kukenal bentuk pintunya,
Tapi setiap liku dirimu membuatku ingin terus pulang padanya.
Dan meski kau tak pandai menetap,
Aku tak bisa menjadi pelabuhan bagi perahu yang lain berlabuh tetap.
Apalah arti seribu pria bersujud pada puji,
Jika denyut jiwaku tetap menari dalam sunyimu yang sunyi?
Cinta, barangkali, adalah kesetiaan yang tak selalu rasional—
Tapi sejatinya adalah pengakuan yang paling personal.
Maka biarlah kau tetap batu yang keras diliputi kabut,
Asalku tahu: dalam dirimu, jiwaku tak luput.
Dan meski tak tergenggam oleh jemari,
Kau telah lama tinggal di puisi ini—abadi, tak terganti.
Comments