Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2025

Aku Adalah Ibu dari Diriku Sendiri

By Nurish Hardefty  Aku adalah ibu dari diriku sendiri Aku lahir di Jakarta— sebuah kota penuh lampu dan kesibukan— namun peluk ibu tak tinggal di sana. Usia enam tahun, aku belajar merawat sendiri lukaku. Tak ada yang bilang bahwa dunia ini kejam, tapi aku tahu, sejak hari pertama aku menangis sendiri. Ibuku, memberiku baju, memberiku uang, namun tak memberiku dirinya. Tak ada pangkuan, tak ada cerita pengantar tidur, tak ada arah dalam keremangan dunia. Anak lain mengadu saat ketakutan, aku mengadu pada tembok diam yang kusebut hati. Aku dewasa dalam sunyi, berpijak di tanah keras dengan kaki luka. Dan ketika aku sukses, orang berkata: "Anak siapa ini?" Senyumku menjawab, tapi hatiku hanya berkata: "Aku anak diriku sendiri." Kini aku dewasa menjaga ibu yang tak pernah menjagaku. Aku yang dulu sendirian— kini belajar menjadi segalanya bagi perempuan yang dulu tidak pernah ada hadirnya dalam duniaku yang retak. ---

Syair Anak Jakarta yang Terlupa

By Nurish Hardefty  Di tanah Betawi aku dilahirkan, Namun kecilku terus diombang-ambingkan, Pindah ke sana, ke sini berjalan, Tanpa pelukan, tanpa bimbingan. Ayahku menghilang tanpa tanggung jawab, sementara Ibuku hadir sekadar nafkah, Sandang tersedia, namun jiwa resah, Tak ada peluk saat hati gelisah, Tak ada nasihat kala batin pasrah. Dirumah nenek, aku tumbuh dalam sunyi dan luka, Belajar dewasa tanpa yang buka, Setiap lara kupeluk jua, Menangis diam, tiada yang peka. Teman dibela orang tuanya, Sedang aku menghibur luka sendiri saja, Tak ada bahu tempat bersandar jiwa, Hanya diriku—satu yang setia. Prestasi kugapai, jerih upaya, Orang memuji, tak tahu cerita, Disangka hangat dididik keluarga, Padahal kupijak luka dan duka. Ibuku diam, kolot tak mengerti, Percaya penuh pada anak sendiri, Padahal hatiku sering berpeti, Tersesat di dunia tanpa petunjuk pasti. Kini dewasa, kujalani peran, Menjadi jiwa seorang ibu yang bukan pilihan, Menjaga ibuku yang dulu meninggalkan, Dengan kasi...

Ship of Longing on Jakarta’s Sea

By Nurish Hardefty  In the midst of the storm, I sail alone, dark waves dancing, the sky screaming unknown. But your voice, like an eternal breeze, echoes in my soul, guiding me with ease. You once said, I’m a super strong woman, even when lightning strikes and hope is gone. Now I believe, you’re watching from the skies, sending light through clouds where memory lies. This song feels like your soul calling mine, dancing with me through Jakarta’s skyline. Among asphalt roads and the city’s glow, your presence stays—I’m never truly alone, you know. You never really left, I feel you near, in every heartbeat, in each silent tear. And tonight, though storms still try to sway, I sail with love that never fades away. --- Kapal Rindu di Laut Jakarta By Nurish Hardefty  Di tengah badai, aku berlayar sendiri, ombak gelap menari, langit menjerit sepi. Namun suaramu, bagai bisikan abadi, menggema di dadaku, menuntun langkah hati. Katamu dulu, aku wanita kuat, meski petir memek...

Jum'at di Tengah Gemuruh Dunia

By Nurish Hardefty  Hari ini Jum'at, langit tak bersahabat, Hujan turun seperti dendam semesta yang meledak, Petir menggores angkasa, Sebagaimana pikiranku mengoyak batas logika. Dunia bergemuruh bukan karena badai semata, Tetapi karena luka-luka yang tak kunjung reda— China dan Amerika bersabung nyali di atas meja dagang, Rusia menghantam Ukraina, Gaza terjepit antara Israel dan dentum Iran, India dan Pakistan saling menatap dengan mata menyala, Sementara di tanah airku, Rakyat berteriak pada dinding kekuasaan Yang hanya bergema untuk mereka yang bertitel tuan. Aku duduk dalam gelap— Listrik mungkin ada, tapi terang tak kunjung hadir dalam jiwa. Perutku menggeliat seperti pejuang terluka, Lapar tak lagi sekadar fisik, Ia menjadi doa yang tak sanggup kuucapkan. Kepalaku adalah medan perang Antara kenyataan dan hasrat yang terus menjerit— Mimpiku berdiri gagah, Namun ditendang oleh takdir yang kerap mabuk oleh kepiluan. Aku lelah, tapi belum mati. Aku lapar, tapi masih bermimpi. Aku...

Cinta Yang Ingin Kuteriakkan

By Nurish Hardefty  Ada cinta yang ingin kuteriakkan, tapi tertahan di antara tanggung jawab dan luka yang tak sempat kupulihkan. Bibirku bisu oleh ego, padahal hatiku menjerit, ingin dipeluk oleh seseorang yang mengerti rintih paling dalam itu. Sayang, andai kau tahu… bukan karena aku tak ingin mencintai, tapi karena aku takut mencintaimu lebih dari diriku sendiri. Aku lelah. Bukan pada cinta, melainkan pada hidup yang menolak memberi aku ruang untuk merasa bahagia sepenuhnya. Ada ibu yang sakit, ada tugas yang tak bisa kupaksa lenyap, sementara hasratku menjadi perempuan yang dicintai terus mengecil, tenggelam dalam rutinitas yang tak manusiawi. Haruskah aku memilih? Diriku sendiri, atau pengorbanan ini? Ataukah, tetap terdiam dalam dilema yang tak kunjung usai, dan membiarkan hatiku perlahan mati dalam senyuman yang dibuat-buat tiap pagi? --- The love I want to shout By Nurish Hardefty  There is a love that I want to cry out, but was held back between responsibilities and w...

Hati Yang Terpaut Satu Nama

By Nurish Hardefty  Arak-arakan pria berkulit putih nan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng telah berlalu, Berselimut kata, beraroma janji semu. Mereka mengetuk jendela hatiku tiap pagi hingga larut malam— Namun sunyiku tetap teguh, tak ingin berbagi. Sebab jiwaku telah lama mengukir satu nama Si durjana berwajah pujangga. Engkau bukan bait lembut atau syair yang jinak, Melainkan badai yang kutunggu saat langit hambar dan retak. Cintamu begitu gelisah, tanpa akar, tanpa mahkota, Hari ini kau mentari, esok hanya angin tak bersuara. Namun engkau—penuh cela dan cahaya yang membara, Menjadi teka-teki jiwa yang tak sanggup kuredakan maknanya. Kau bukan rumah dengan pintu yang kukenal benar, Namun setiap lekuk dirimu membuatku ingin kembali menyandar. Dan walau kau tak pernah belajar untuk menetap, Aku pun tak bisa jadi dermaga bagi kapal lain yang hendak singgah tetap. Apa arti seribu pria bersujud penuh puji, Jika nadiku masih menari di senyapmu yang sunyi? Cinta, mung...

Surat yang Tak Pernah terkirim – Untukmu, Thomas

By Nurish Hardefty  Thomas, Di dunia ini, terlalu banyak pria yang datang dengan rupa yang menenangkan, dengan rencana dan kepastian yang membuai. Mereka hadir seperti peta: jelas, mudah dimengerti, dan aman untuk diikuti. Tapi jiwaku menolak semua itu—dan memilihmu. Kau bukan jalan yang rata, kau adalah badai yang datang tiba-tiba, membuatku takut sekaligus membuatku merasa hidup. Kau adalah batu keras dalam samudra, tak bisa kupeluk, tapi tak bisa pula kuhindari. Aku ingin mencintai yang mencintaiku dengan tenang, tapi getar yang paling jujur hanya terjadi saat aku bersamamu. Ada ruang di hatiku yang bahkan aku sendiri tak pahami, kecuali saat namamu berbisik di sana. Luka darimu lebih berarti dari pelukan pria lain yang terlalu mudah dimiliki. Bukan karena kau sempurna—tidak. Tapi karena kau nyata, dan di balik semua inkonsistensimu, aku tahu: ada cinta yang sedang berjuang, meski dalam diam, meski tak lengkap. Jika suatu hari kau membaca ini, entah kapan dan di mana, ketahuilah...

Balada Jiwa Yang Tertawan

By Nurish Hardefty  Telah lalu parade lelaki berseragam rapi, Berselendang kata, beraroma janji, Mereka mengetuk jendela hatiku saban pagi— Namun sunyiku tak gentar, tak sudi terbagi. Sebab jiwaku telah lama terpatri di benak satu nama, Thomas Hamre, sang durjana berwajah pujangga. Kau bukan puisi yang tenang atau syair yang jinak, Tapi badai—yang kutunggu saat langit terasa hambar dan berjarak. Betapa resah cintamu, tak berakar, tak bermahkota, Hari ini engkau matahari, esok jadi angin tanpa kata. Namun, wahai engkau yang penuh cela dan cahaya, Dalam dirimu, kutemukan teka-teki jiwa yang tak terhingga. Kau bukan rumah yang kukenal bentuk pintunya, Tapi setiap liku dirimu membuatku ingin terus pulang padanya. Dan meski kau tak pandai menetap, Aku tak bisa menjadi pelabuhan bagi perahu yang lain berlabuh tetap. Apalah arti seribu pria bersujud pada puji, Jika denyut jiwaku tetap menari dalam sunyimu yang sunyi? Cinta, barangkali, adalah kesetiaan yang tak selalu rasional— Tapi sejat...

Jiwa yang Memilihmu

By Nurish Hardefty  Di antara ribuan langkah pria yang datang, Mereka tampan, mapan, tutur katanya tenang. Namun jiwaku—bukan mata—yang memilih, Pada seorang pria dengan badai dalam dadanya yang tak pernah letih. Kau, Thomas, batu keras dalam samudra, Kadang datang membawa matahari, kadang petaka. Konsistensimu seperti bayang-bayang senja, Dekat, namun tak bisa kupegang lama. Tapi jiwaku, oh jiwaku, Tak pernah bisa pergi jauh darimu. Ada getar yang tak hadir saat pria lain mengetuk, Ada ruang dalam hatiku yang hanya kau yang mampu duduk. Aku tahu cinta bukan hanya tentang kehadiran, Tapi tentang getar yang tak bisa dipalsukan. Kau hadir seperti luka yang kurindukan, Pahit, namun candu dalam keabadian. Mereka datang dengan janji dan arah, Namun hatiku tetap kau yang menjarah. Bukan karena kau sempurna atau setia, Tapi karena jiwaku—meski lelah—tetap memilihmu sebagai rumahnya. Ingin kuubah takdir agar mudah mencintai yang mencintai, Namun jiwa ini tahu: cinta sejati tak pernah bisa ...