By Nurish Hardefty
Di tanah yang katanya subur karena doa,
tumbuhlah korupsi seperti jamur di kepala negara.
KKN berakar di meja kekuasaan,
dipupuk oleh janji manis yang penuh kebusukan.
Wapres berdiri—cacat secara konstitusi,
namun disucikan oleh lembaga yang seharusnya jadi nurani.
Presiden pun hanya raja omon-omon,
berpidato tegas tapi nyalinya kosong.
Di Raja Ampat, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku,
alam dirobek demi tambang, demi serakah yang membeku.
Hutan ditumbangkan, laut dipagar,
demi investor asing yang menanam dengan angkuh dan liar.
Pulau Komodo menangis tak bersuara,
Rempang digadai atas nama “cinta negara.”
Tangerang menjual lautnya ke Aguan,
seolah tanah air bisa ditukar dengan yuan.
Rakyat tak lagi punya pegangan,
karena sertifikat tanah kini elektronik tanpa perasaan.
Pajak mencekik, aturan membelenggu,
harga sembako naik—hidup jadi beban tanpa peluru.
PHK massal bagai badai yang diam-diam,
menghempas keluarga yang dulu tenang.
Dan di tengah reruntuhan nasib rakyat kecil,
elit tertawa dengan senyum licik dan stabil.
Negeri ini bukan lagi rumah bagi yang jujur,
melainkan panggung bagi aktor licik yang makmur.
Namun, lihatlah—rakyat belum padam sepenuhnya,
masih ada bara di dada yang menunggu waktunya.
---
Comments