Aku menatap langit pagi dari jendela kamar. Cahaya matahari menyelinap masuk, tapi bagiku, ia tak lebih dari sinar yang hampa. Aku dulu mencintai pagi—menikmati kopi sambil menyusun rencana hidup. Sekarang, pagi hanyalah awal dari kelelahan yang sama.
Dari tempat tidur, suara napas ibu terdengar berat. Aku bangkit dengan tubuh yang terasa remuk, lalu menuju dapur. Aku membuka kulkas kosong, hanya ada beberapa bahan sisa yang masih bisa diolah. Aku menghela napas, lalu mulai memasak.
Hari ini aku memasak ayam goreng dan sayur lodeh. Sesuatu yang lezat. Bukan karena aku punya banyak uang, tapi karena ibu selalu menginginkannya. Dia tidak mau makan kalau hanya ada makanan sederhana, dan aku—aku harus mengusahakannya, entah bagaimana caranya.
Aku menyajikan makanan di meja dan membawakan piring untuk ibu. Saat aku meletakkannya di depannya, dia mengernyit.
"Kenapa ayamnya cuma ini?" tanyanya.
Aku menghela napas. "Aku sudah masak yang terbaik, Bu."
Ibu mendengus, mengambil suapan pertama, lalu berkata dengan nada tidak puas, "Lebaran besok kakakmu pulang, kau harus memasak lebih enak dari ini."
Aku diam.
Lagi. Lagi. Nama itu lagi.
Kakakku, yang hanya datang sehari dalam setahun, tapi diperlakukan seperti raja. Kakakku, yang selama hampir tiga tahun ibu sakit tidak pernah mengulurkan tangan, baik tenaga maupun uang. Kakakku, yang selalu mendapat tempat di hati ibu, sementara aku—aku hanyalah seseorang yang diwajibkan untuk melayani.
Aku ingin membalas, ingin mengatakan bahwa aku yang bertahan, aku yang menanggung semuanya—waktu, tenaga, uang, bahkan jiwaku sendiri. Tapi untuk apa? Aku hanya akan kembali mendengar bahwa aku perempuan, dan itu sudah tugasku.
Tapi kali ini, aku tidak bisa diam.
"Bu, aku sudah capek," kataku lirih, tapi penuh luka.
Ibu melirikku. "Capek kenapa? Kau ini perempuan, sudah tugasmu merawat orang tua. Kakakmu laki-laki, dia punya tanggung jawabnya sendiri."
Aku tertawa pelan, getir. "Tanggung jawabnya sendiri? Apa, Bu? Tanggung jawabnya hanya untuk dirinya sendiri?"
Ibu menangis. Aku melanjutkan, suara bergetar.
"Dari kecil, aku sudah menanggung beban yang tidak seharusnya kupikul. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi anak yang benar-benar dipedulikan. Ayah pergi, meninggalkan kita dalam kehancuran. Ibu bekerja di Jakarta, dan aku—aku disini yang harus belajar mengurus diri sendiri sejak kecil. Aku yang harus bertahan tanpa figur ayah, tanpa kasih sayang yang utuh. Kakak ada, tapi dia hanya tahu memerintah. Aku yang harus mengurus rumah, aku yang harus menyiapkan makanan, aku yang harus menanggung semuanya sendirian!"
Suaraku meninggi, tapi aku tidak peduli.
"Sekarang aku sudah dewasa, aku pikir aku bisa mengejar hidupku sendiri. Aku ingin kuliah, ingin bekerja, ingin meraih mimpiku. Tapi apa yang kudapat? Penyakit! Kanker payudara dan usus! Lima kali operasi! Aku berjuang sendiri, Bu! Tanpa bantuan siapa pun! Tidak ada keluarga, tidak ada pasangan yang bisa mendukungku! Satu-satunya orang yang peduli padaku, dia meninggal dunia. Aku kehilangan semuanya. Dan sekarang, saat aku baru mulai pulih, aku harus kembali ke sini dan mengorbankan hidupku lagi untuk merawat ibu. Sementara kakak? Dia bebas! Dia hidup tanpa beban! Dan ibu masih ingin aku melayaninya seperti raja saat dia pulang sehari dalam setahun?!"
Aku menatap ibu dengan napas memburu. Tapi ibu tetap sama—tatapannya kosong, seolah semua perkataanku hanyalah angin lalu.
Kemudian, dengan suara datarnya, dia hanya berkata, "Besok kakakmu pulang. Bersihkan rumah. Masak makanan kesukaannya."
Dadaku seakan dihantam batu besar.
Aku tertawa, tapi rasanya lebih menyakitkan daripada menangis.
Aku bangkit, meninggalkan ibu tanpa kata.
Di dapur, aku menatap sisa ayam goreng yang tadi kubuat. Aku ingin membantingnya, ingin menghancurkan sesuatu, tapi aku hanya bisa menggenggam meja erat-erat, mencoba menahan gemuruh dalam dadaku.
Esok, kakakku akan pulang. Sehari. Lalu pergi lagi, meninggalkanku dalam kesendirian ini.
Aku mengusap wajahku, mencoba menenangkan diri.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, aku akan tetap berjalan dalam kegelapan ini. Aku hanya tidak tahu sampai kapan aku mampu bertahan.
------
Nurish Hardefty
Comments