Life often offers happiness only briefly before taking it away in the most painful way. I have experienced many things that may be difficult for some to understand—love that arrives with hope, only to leave behind wounds that are hard to heal.
In early 2018, a Hungarian man named Zoltan Furedi managed to break through the walls of my proud heart. He was persistent, making me feel unconditionally loved in his own way. But fate had other plans. He left forever in 2020, leaving a deep hole in my heart. The grief I felt was overwhelming, and for months, I was consumed by sorrow. I cannot explain everything here, but his passing left me with immense regret and guilt.
When I began to make peace with that loss, my best friend, "Thomas," whom I had loved since 2015, returned, offering to fill the emptiness in my heart. We tried to rebuild a relationship that had previously failed, despite the distance separating us. But long-distance love doesn’t always go as hoped. Thomas, the Norwegian man who had once been my refuge, slowly became a stranger to me. We blamed each other, even though, deep down, it all started because he failed to appreciate my feelings as his woman. I fought to keep the relationship alive, trying to understand, but no matter how hard I tried, I remained just one option among many in his life.
The year 2021 became a bitter turning point. I had to undergo breast and intestinal tumor surgeries for the umpteenth time, two months in a row. Before that, I had already undergone three surgeries since 2017. Yet, at my most vulnerable moment, he left me—not just physically, but emotionally. I endured for another year, trying to understand, searching for reasons to keep believing. But finally, in the same month as our breakup, in October, I realized one thing: "I am worth more than someone who cannot fight for me."
Even though I chose to walk away, the wounds he left didn’t heal easily. His demeaning words, his attitude, everything left scars that are hard to erase. I tried to rebuild my life, but the world seemed unwilling to give me even a moment to breathe. Before I could piece myself back together, my mother suffered a stroke. From that moment on, I had to sacrifice everything to take care of her.
My struggle to escape the storms of life year after year has not ended, even now in 2025. I have yet to find a bright spot where I can finally enjoy life for myself. I still have to keep pushing forward, wiping away my tears in the silence of the night.
I often ask, where is the justice? Why has life given me so many tears? I fight alone against everything—grief, health, finances, and the responsibility of being a daughter. I have to be strong because I have no other choice. No one helps me carry this burden. No family members, no siblings—I have to go through it all on my own.
I never had a father to hold me, nor an older brother to protect me. And I have been used to that since childhood. It seems like I have never been lucky, never fortunate enough to have a good man in my life. Or maybe it just isn’t time yet for me to find a man who can be a father figure, a protective brother, or a supportive life partner. I only hope that my fate doesn’t end up like my mother’s. She lost her father as a child, missing out on a father figure, then married a man who betrayed her, and in the end, the son she had hoped for refused to care for her in her old age and illness. I still hold onto the hope that my fate will be brighter—that I will find one good man who can heal my deep-rooted trauma caused by the men in my life.
But no matter how harsh reality is, there is one thing that hasn’t changed: I still love Thomas. To me, he is the only person who can speak to me as if I were looking into a mirror. Many men have come and gone—some perhaps more handsome, some perhaps better—but I cannot force my heart to choose another. My heart, my mind, and even my subconscious still choose and seek him.
Right now, I stand at a crossroads. I don’t know which path to take—should I fight for a love that is uncertain?
Thomas has started communicating again, yet I don’t know his true intentions after so easily casting me aside.
Or should I focus on my physical and mental health, which is still in shambles, and on my responsibilities as a daughter to my mother?
I haven’t been able to fix my life since Thomas and I parted ways.
I haven’t been able to restore my health, finances, career, or success—or even improve my physical appearance to feel more confident and radiant.
Do I deserve love from the man I love when I seem so far from being worthy of being fought for?
I am at a point where I feel insecure, lacking confidence in my ability to love and be loved with my current life situation.
But one thing is certain—I am still standing, still holding on, even as the world keeps trying to bring me down.
I still love Thomas, but I refuse to chase him. My heart and mind remain loyal to one person. This doesn’t mean I need him, but rather, my loyalty is simply part of who I am. This is me.
I can still endure and remain faithful, even if he may have given his heart to another woman just days or months after we were no longer together, spending time with and sleeping beside someone else.
What matters now is that I am valuable.
I will never lower my self-worth again for a man who discarded me.
Let love remain where it belongs.
Perhaps God intended for it to stay there.
By Nurish Hardefty
_______
Hidup sering kali menawarkan kebahagiaan yang hanya sebentar, sebelum kemudian menariknya kembali dengan cara yang menyakitkan. Aku telah mengalami banyak hal yang mungkin bagi sebagian orang sulit untuk dipahami—cinta yang datang dengan penuh harapan, lalu pergi meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.
Di awal 2018, seorang pria Hungaria bernama Zoltan Furedi berhasil menembus dinding hatiku yang angkuh. Dia tak pantang menyerah, dengan caranya sendiri membuatku merasa dicintai tanpa syarat. Namun, takdir berkata lain. Dia pergi untuk selamanya pada tahun 2020, meninggalkan lubang dalam di hatiku. Kesedihan yang kurasakan begitu dalam, hingga berbulan-bulan aku terpuruk dalam duka. Aku tidak bisa menjelaskan banyak hal disini, kepergiannya tentu saja meninggalkan penyesalan dan rasa bersalah di hatiku yang amat dalam.
Ketika aku mulai berdamai dengan kehilangan itu, sahabat lamaku "Thomas" yang aku cintai sejak tahun 2015 kembali menawarkan diri untuk mengisi ruang kosong di hatiku. Kami mencoba menjalin hubungan yang pernah gagal sebelumnya, meski jarak memisahkan. Tapi cinta jarak jauh tak selalu berjalan sesuai harapan. Thomas pria Norwegia yang pernah menjadi tempatku bersandar, perlahan menjadi sangat asing untuk aku kenali, kami berdua saling menyalahkan satu sama lain, meskipun sebenarnya semua omonh kosong itu bermula tetap dari dia yang tidak bisa menghargai perasaanku sebagai wanitanya. Aku berjuang mempertahankan hubungan itu, mencoba mengerti, tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja aku hanya satu pilihan di antara sekian banyak orang dalam hidupnya.
Tahun 2021 menjadi titik balik yang pahit. Aku harus menjalani operasi tumor payudara dan usus untuk kesekian kalinya dua bulan berturut-turut dimana sebelumnya aku sudah melakukan tiga kali operasi dari tahun 2017, namun di saat paling rapuh itu, dia meninggalkanku. Bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Aku bertahan setahun lagi, mencoba memahami, mencari alasan untuk tetap percaya. Namun akhirnya, di bulan yang sama dengan perpisahan kami tepatnya bulan Oktober, aku menyadari satu hal: "Aku lebih berharga dari seseorang yang tak mampu memperjuangkanku."
Meski aku memilih untuk mundur, luka yang dia tinggalkan tak mudah hilang. Kata-katanya yang merendahkan serta mencemooh ku, sikapnya, semuanya menorehkan bekas yang sulit dihapus. Aku mencoba memulihkan hidupku, tapi dunia seakan tak memberi jeda sedikitpun untuk aku bernafas lega. Belum selesai aku merangkai kembali puing-puing diriku, ibuku jatuh sakit akibat stroke. Sejak saat itu, aku harus mengorbankan segala hal untuk merawatnya.
Perjuangan aku untuk terlepas dari badai kehidupan dari tahun ke tahun hingga sekarang tahun 2025 belum juga usai, aku belum menemukan titik cerah untuk bersenang-senang dengan diri sendiri. Aku masih harus tertatih menguatkan diri sembari mengusap air mata dibalik gelapnya malam dalam ruangan yang hening.
Aku sering bertanya, di mana keadilannya? Mengapa hidup memberiku begitu banyak air mata? Aku berjuang sendiri melawan segalanya—kesedihan, kesehatan, keuangan, dan tanggung jawab sebagai anak. Aku harus kuat, karena tak ada pilihan lain. Tak ada yang membantuku dalam mengemban semua tanggung jawab ini. Tidak ada anggota keluarga atau saudara lain, semuanya harus aku lalui sendiri.
Tidak pernah ada ayah yang mendekap, tidak ada kakak laki-laki yang merangkul. Dan aku terbiasa tanpa mereka sejak kecil. Aku seolah tak pernah beruntung, aku tak pernah beruntung memiliki sosok pria dalam kehidupan ku. Atau memang belum waktunya aku menemukan satu pria baik yang bisa berperan sebagai ayah yang baik untuk ku, kakak pelindung atau pasangan hidup yang mensupport. Aku hanya berharap, takdirku tidak berakhir seperti ibu. Ibu menjadi anak yatim disaat ia kecil sehingga kehilangan figur ayahnya, mendapatkan suamipun akhirnya harus berakhir pada pengkhianatan, dan harapan terakhir anak laki-lakinya justru ia enggan berbakti dan mengabdi pada ibunya disaat usia senja dan sakit. Aku masih berharap ada harapan terang atas takdir ku, mendapatkan satu pria terbaik yang akan menghapus trauma buruk atas sosok-sosok pria yang ada dalam kehidupanku.
Namun, sekeras apa pun kenyataan ini, ada satu hal yang tak bisa berubah: aku masih mencintai Thomas. Bagiku, dia adalah satu-satunya orang yang bisa berbicara denganku seolah aku sedang bercermin pada diriku sendiri. Banyak pria datang dan pergi, mungkin lebih tampan, mungkin lebih baik, tapi aku tak bisa memaksa hati untuk memilih yang lain. Hatiku, pikiran ku, bahkan alam bawah sadarku masih terus memilih dan mencarinya.
Saat ini, aku berada di persimpangan pikiran. Aku tak tahu mana yang harus kupilih—memperjuangkan cinta yang tak pasti?
Thomas telah memulai komunikasi lagi sementara aku tidak tahu apa tujuan dia memulai komunikasi itu, setelah dengan hebatnya menendangku pergi.
Atau fokus pada kesehatan fisik-mentalku yang saat ini masih berantakan, dan tanggung jawab sebagai anak pada ibuku?
Aku belum berhasil memperbaiki kehidupanku sejak aku dan Thomas berpisah.
Belum bisa memulihkan kesehatan ku, keuangan ku, karir dan kesuksesan ku, atau sekedar memperbaiki penampilan fisik untuk terlihat lebih cantik bersinar.
Apa aku layak untuk mendapatkan cinta dari pria yang aku cintai sementara aku tampak jauh dari kata layak untuk diperjuangkan?
Aku berada pada titik dimana aku merasa minder, tidak memiliki kepercayaan diri untuk mencintai dan dicintai dengan kondisi kehidupan ku saat ini.
Tapi yang pasti, aku masih berdiri, masih bertahan, meski dunia terus mencoba menjatuhkanku.
Aku masih tetap mencintai Thomas, hanya saja aku enggan mengejarnya. Hati dan pikiran ini masih setia untuk satu orang. Ini bukan berarti aku membutuhkannya, tapi kesetiaan ini hanyalah tentang kepribadian ku. Ini adalah aku.
Aku masih sanggup bertahan dan setia, sekali pun ia mungkin telah menjatuhkan hatinya pada wanita lain beberapa hari atau bulan setelah tak lagi menjadi kekasih ku, menghabiskan waktu dan tidur bersama perempuan lain.
Yang jelas saat ini, aku sangat berharga.
Aku tidak akan merendahkan harga diriku lagi untuk pria yang telah membuang ku.
Biarkan saja cinta ada pada tempat seharusnya, mungkin Tuhan yang berencana agar cinta itu tetap disana.
Comments