Skip to main content

Sendiri Melawan Dunia

Ketika kebanyakan orang menyebut hidup sebagai perjalanan, bagi saya, hidup adalah medan perang. Tidak ada hari tanpa perjuangan, tidak ada waktu untuk jeda. Semua bermula sejak saya lahir ke dunia ini.
Dimasa balita kedua orang tua saya bertengkar menyebabkan ayah pergi meninggalkan ibu begitu saja dengan perempuan lain, bahkan saya dalam usia balita dijual kepada orang lain olehnya dan sampai dewasa hidup dalam keprihatinan, kurangnya asuhan dan perlindungan dari dua orang tua. Dipaksa menjadi dewasa sejak usia dini, dan mengikhlaskan ibu mencari nafkah untuk biaya hidup kami. Sementara ayah, dia sibuk dengan hawa nafsunya sendiri tanpa peduli dengan kehidupan kami sampai detik ini.

Saya berjuang untuk hidup bahagia dan mendewasa oleh didikan alam semesta. Selepas masa sekolah selesai saya bekerja dan berusaha membiayai kehidupan sendiri baik untuk melanjutkan kuliah dan gaya kehidupan yang saya inginkan.
Keinginan untuk menjadi orang bahagia yang sukses membuat saya gila kerja dan lupa waktu untuk menjaga kesehatan tubuh.

Badai semakin terasa gelap bermula pada akhir tahun 2017, ketika saya didiagnosis mengalami sakit kelenjar getah bening setelah satu minggu sebelumnya saya berjuang melawan rasa sakit yang hebat, muntah-muntah tanpa henti sepanjang malam. Itu terjadi karena saya bekerja tanpa mengenal hari libur dan akhirnya harus menjalani operasi kelenjar getah bening. Sebuah babak baru dalam hidup dimulai—babak yang penuh rasa sakit, kesepian, dan tekad untuk bertahan.

Setelahnya saya melakukan operasi lagi pada tahun 2018 dan 2019 di bulan yang sama yaitu bulan Maret, saya kembali menghadapi kenyataan pahit: tumor payudara. Ketika orang-orang merayakan tahun baru dengan resolusi dan harapan serta segala gebrakan, saya memulai tahun dengan rasa takut dan ketidakpastian. Perjalanan itu tidak berhenti di satu tahun. Hingga 2021 dan 2022, saya menjalani serangkaian operasi untuk tumor yang sama. Dan di tengah masa pandemi COVID-19, saya terbaring di meja operasi lagi setelah satu bulan sebelumnya saya melakukan operasi —kali ini operasi karena usus buntu.

Pandemi membuat segalanya semakin sulit. Rumah sakit penuh, rasa takut terpapar virus mengintai setiap sudut, dan saya, berulang kali terkena COVID-19. Tidak ada keluarga yang bisa mendampingi, tidak ada kekasih yang memberi dukungan. Saya sendirian. Setelah operasi, luka di tubuh mungkin perlahan sembuh, tapi luka di hati tetap membekas. Saya sering kali tidak bisa makan atau minum karena sariawan panjang yang menyiksa setelah operasi, namun tetap harus merawat diri sendiri.

Saat saya berjuang untuk pulih, dunia seolah memukul saya lebih keras. Kekasih saya meninggalkan saya. Seseorang yang saya kira akan menjadi penopang dan pendukung emosional justru memilih pergi di saat saya berada pada titik paling rapuh. Tangisan tidak pernah benar-benar menghapus rasa sakit itu, tetapi tidak ada waktu untuk terlarut dalam duka. Tahun ke tahun hanya air mata yang menghiasi kehidupan saya.

Sekarang, saya kembali berperang. Kali ini, bukan untuk diri sendiri, tapi untuk ibu saya yang terkena stroke. Sejak dua tahun terakhir, hidup saya terhenti di sebuah desa kecil semenjak ibu memutuskan untuk pindah tempat tinggal dari Jakarta ke kampung halamannya. Saya harus merawat ibu seorang diri, tanpa bantuan siapapun. Saudara laki-laki saya memilih untuk mengabaikan kondisi ibunya, dia sekalipun tidak pernah membantu saya untuk merawat ibu baik di rumah ataupun saat saya terpaksa membawa ibu ke rumah sakit karena kondisinya yang memburuk. Setiap hari adalah tantangan. 

Saya ingin kembali ke kota, mengejar mimpi yang lama tertunda, tetapi rasa bersalah dan cinta kepada ibu menahan langkah saya. Keinginan untuk menjadi wanita karir yang sukses meredup oleh keadaan, keinginan untuk berumah tangga dengan pria mendadak saya menjadi minder karena situasi yang saya hadapi.
Semua terasa gelap ,hanya badai dan kebuntuan yang saya temukan.

Di tengah semua itu, saya bertanya-tanya, di mana Tuhan dalam perjuangan ini? Kenapa saya harus menanggung semua ini sendirian? Saya lelah hidup dalam tekanan penderitaan sejak saya kecil karena orang tua saya dan kemungkinan takdir hidup saya yang kurang seberuntung orang lain. Namun, di saat-saat sunyi, saya menemukan kekuatan kecil dalam diri saya. Saya bertahan. Meski dunia terasa gelap, saya masih di sini. Masih berjuang untuk saya dan ibu.

Mungkin hidup saya bukan kisah bahagia yang biasa diceritakan, tetapi kisah ini adalah bukti bahwa saya kuat, bahkan ketika tidak ada yang mendukung. 

Bagi siapa pun yang membaca ini dan merasa sendirian: ingatlah, Anda tidak sendiri. Kita semua pejuang di medan perang kehidupan, dan kita bisa melewati ini, meski terasa mustahil.

Hidup mungkin terus menguji saya, tetapi saya tidak akan menyerah. Karena setiap napas yang saya ambil adalah kemenangan kecil atas dunia yang terus mencoba menjatuhkan saya.

Artikel by
Nurish Hardefty 

Bases her own story.

Comments

Popular posts from this blog

"Pajak Tinggi, Tapi Rakyat Indonesia Masih Menderita: Mengapa Indonesia Tidak Sejahtera Seperti Negara Lain?"

Pajak Tinggi, Tapi Rakyat Menderita: Mengapa Indonesia Tidak Sejahtera Seperti Negara Lain? Indonesia adalah negara dengan sistem perpajakan yang cukup ketat . Dari pajak penghasilan, PPN, pajak kendaraan, hingga PBB, rakyat dibebankan berbagai jenis pajak untuk mengisi kas negara . Sayangnya, meskipun pajak terus meningkat, layanan yang diterima rakyat tidak sebanding. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Norwegia, Swedia, atau Jerman , yang juga memiliki pajak tinggi, rakyat mereka justru menikmati pendidikan gratis, layanan kesehatan berkualitas, dan jaminan sosial yang kuat. Lalu, mengapa di Indonesia pajak tinggi tetapi kesejahteraan rakyat masih jauh tertinggal? --- 1. Pajak Tinggi di Indonesia, Tapi Ke Mana Uangnya? Di banyak negara maju, pajak yang tinggi digunakan untuk membiayai layanan publik. Namun, di Indonesia, meskipun rakyat membayar banyak pajak, mereka masih harus membayar sendiri pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Beberapa fakta ...

Caregiver Burnout

Merawat orang tua (ayah/ibu) yang sakit stroke selama bertahun-tahun seperti yang saya alami dua tahun ini tanpa dukungan dari anggota keluarga lainnya baik dari segi waktu, tenaga dan financial bisa menjadi pengalaman yang sangat berat secara fisik, emosional, dan mental. Dimana seharusnya penderita stroke merasa nyaman dalam perhatian sehingga mempermudah proses penyembuhan justru sebaliknya penderita stroke bisa menjadi pelampiasan kelelahan dari orang yang merawatnya. Kondisi ini sering disebut sebagai caregiver burnout atau gangguan mental akibat beban caregiving, dan dapat menyebabkan berbagai gangguan psikologis seperti stres berat, depresi, atau bahkan trauma. --- Dampak Mental Akibat Merawat Orang Tua Stroke 1. Stres Kronis Tanggung jawab terus-menerus tanpa waktu istirahat dapat meningkatkan hormon stres (kortisol), yang memengaruhi kesehatan mental. 2. Depresi Perasaan terisolasi, kelelahan, dan kurangnya dukungan sering memicu depresi pada caregiver. 3. Kecemasa...